oleh : Muslim Nugraha, S.H.
Pendidikan, satu kata yang sering didengung-dengungkan oleh para masyarakat dari berbagai kalangan tanpa mengenal batas-batas ataupun sekat-sekat yang dianggap dapat memberikan tabir agar dapat saling berbaur satu sama lain. Pentingnya pendidikan sudah dimulai sejak pertama sekali Rasulullah S.A.W mendapatkan wahyu pertamanya yaitu, Surat Al-Alaq 1-5 yang berbunyi "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya".
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), "Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik".
Usaha-usaha yang dilakukan dalam suatu pendidikan dapat dilakukan mulai
dari rumah sendiri dengan orang tua sendiri yang berperan sebagai
pendidik, hingga ke sebuah tempat yang dikhususkan untuk dilakukannya
pendidikan yang sering kita kenal dengan nama “Sekolah”.
Sekolah sebagai media penghubung antara
orang tua dan anak dalam memberikan proses pendidikan dengan guru yang
berperan sebagai pendidik haruslah benar-benar “cekatan” untuk tahu
bagaimana besarnya pengaruh pendidikan yang mereka berikan kepada anak.
Tanggung jawab yang mereka terima bukanlah main-main karena mereka
merupakan satu diantara faktor yang membentuk karekter anak untuk ke
depannya nanti. Disisi lain, rumah dalam hal ini orang tua juga berperan
penting terhadap pembentukan karakter anak, karena rumah adalah
“sekolah pertama” yang akan ditempa oleh anak sebelum memasuki jenjang
sekolah yang sebenarnya. Kedua faktor ini layakya dua sisi mata uang
yang saling bekerjasama satu dan lainnya untuk memberikan pelatihan dan
pembentukan sikap moral dan karakter anak. Betapa sering kita mendengar
kasus kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh remaja-remaja,
bahkan anak-anak yang dilatar belakangi oleh ketidak puasan mereka
terhadap apa yang mereka terima dari rumah, dan sekolah mereka.
Kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak pun sudah sering kita dengar di masyarakat. Tindak pidana yang
berupa pencurian, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh
anak-anak pun sudah bukan lagi menjadi hal yang “asing” di telinga kita.
Sayangnya kebiasaan masyarakat yang langsung menyalahkan anak tidak
akan langsung serta-merta dapat merubah sikap yang terlanjur melekat
dalam diri anak. Perlu adanya suatu penambahan nilai – nilai moral yang
lebih ditekankan kembali kepada anak.
Mungkin kita masih ingat dengan kasus yang
menimpa AQJ mengakibatkan tewasnya 7 orang dianggap telah melakukan
tindak pidana pembunuhan dan pelanggaran terhadap lalu lintas. Dari
kasus AQJ ini sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat dipetik, yakni
soal bagaimana orang tua yang seharusnya lebih memberikan dukungan dan
didikan moriil dan psikis terhadap anak agar tidak terlalu dimanja dan
dibiasaan disiplin dalam kehidupan yang nantinya akan dirasakan sendiri
manfaatnya baik bagi anak maupun bagi orang tua dan orang-orang
disekitar mereka.
Mengenai permasalahan anak yang sudah
terlanjur bermasalah dengan hukum maka diperlukan prosedur yang berbeda
dengan orang dewasa yang bermasalah dengan hukum. Hal ini dikarenakan
anak masih memiliki pikiran yang tidak se'kompleks' orang dewasa yang
bisa berpikir lebih jernih. Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak, "Anak yang Berhadapan dengan Hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana". Anak sebagai
pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang
disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum,
dan memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus
mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi
dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai
kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang
berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada
khususnya. (Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,
Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004)
Oleh karena itulah diperlukan perlindungan
yang lebih terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Undang-undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak telah mengadopsi sistem Restorative Justice. Menurut
Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,
"Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan".
Dalam sistem ini ketika si anak telah dinyatakan melakukan tindak
pidana, maka anak tidak langsung dihadapkan dengan pengadilan yang malah
membuat mental si anak tertekan, melainkan semua pihak yang terkait
antara pelaku dan korban sama-sama menyelesaikan masalah dengan jalan
keluar yang lebih bersifat kekeluargaan agar tidak menghambat kesempatan
si anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
dan sosial. Diharapkan dengan adanya sistem ini, maka perlindungan
hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum tidak akan lagi seperti
kejadian sebelumnya seperti contoh dimana kasus Pencurian Sendal Jepit
yang diduga dilakukan AAL (15 tahun) setelah memasuki proses hukum di
Pengadilan Negeri Kelas I Palu di awal tahun 2012 mendapatkan ancaman
hukuman 3-5 tahun penjara.
Oleh karena itu, sudah selayaknya sistem hukum yang menangani peradilan terhadap anak secara dengan konsep Restorative Justice
ini secepatnya akan diberlakukan secara efektif, meskipun masih ada
keterbatasan SDM dalam menerapkan sistem hukum yang lebih menekankan
perlindungan bagi si anak ini. Hal ini dikarenakan mengingat anak
bagaimanapun ia melakukan tindak pidana, namun ia masih berada dalam
wilayah usia labil dan rentan untuk dipengaruhi. Peran orang tua dalam
mendidik dan memberikan kasih sayang bagi si anak dan orang
disekitanyalah yang dapat membuat mereka lebih berhati-hati dan menjadi
mawas diri agar tidak terjerumus dalam melakukan tindak pidana yang
membahayakan diri mereka dan orang lain disekitarnya.
Satu diantara upaya awal dalam mencegah
anak-anak agar tidak bermasalah dengan hukum adalah dengan memberikan
pemahaman hukum dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak perlu dengan
bahasan yang tinggi dan sulit dimengerti, cukup ungkapkan pentingnya
menjaga sikap tindak dan moral anak-anak dengan menyisipkan pemahaman
mengenai hukum sedikit demi sedikit yang dapat dihubungkan dengan isi
pelajaran. Tidak juga harus setiap saat secara intensif, cukup dengan
menyisipkan sesekali sebagai "pemanis" proses pembelajaran. Memang
sepintas terlihat sepele, namun dengan naluri anak yang mudah mengingat
apa yang ditangkapnya, maka itu akan menjadi salah satu pembentuk pola
pikirnya. Disinilah peran guru sebagai pendidik sangat diperlukan untuk
menyisipkan pemahaman mengenai hukum tersebut dengan benar.
Dengan demikian diharapkan sekolah yang
memiliki tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan isi
dari Alinea ke empat UUD RI 1945 akan benar - benar mencetak generasi
yang berpotensi sebagai penerus bangsa dan mengharumkan negara kelak
kedepannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar