Sekolah Islam Terpadu Harapan Mulia Palembang

Jumat, 08 April 2016

UPAYA PENCEGAHAN AWAL ANAK-ANAK DARI MASALAH HUKUM

oleh : Muslim Nugraha, S.H.


Pendidikan, satu kata yang sering didengung-dengungkan oleh para masyarakat dari berbagai kalangan tanpa mengenal batas-batas ataupun sekat-sekat yang dianggap dapat memberikan tabir agar dapat saling berbaur satu sama lain. Pentingnya pendidikan sudah dimulai sejak pertama sekali Rasulullah S.A.W mendapatkan wahyu pertamanya yaitu, Surat Al-Alaq 1-5 yang berbunyi "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya".


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik". Usaha-usaha yang dilakukan dalam suatu pendidikan dapat dilakukan mulai dari rumah sendiri dengan orang tua sendiri yang berperan sebagai pendidik, hingga ke sebuah tempat yang dikhususkan untuk dilakukannya pendidikan yang sering kita kenal dengan nama “Sekolah”.


Sekolah sebagai media penghubung antara orang tua dan anak dalam memberikan proses pendidikan dengan guru yang berperan sebagai pendidik haruslah benar-benar “cekatan” untuk tahu bagaimana besarnya pengaruh pendidikan yang mereka berikan kepada anak. Tanggung jawab yang mereka terima bukanlah main-main karena mereka merupakan satu diantara faktor yang membentuk karekter anak untuk ke depannya nanti. Disisi lain, rumah dalam hal ini orang tua juga berperan penting terhadap pembentukan karakter anak, karena rumah adalah “sekolah pertama” yang akan ditempa oleh anak sebelum memasuki jenjang sekolah yang sebenarnya. Kedua faktor ini layakya dua sisi mata uang yang saling bekerjasama satu dan lainnya untuk memberikan pelatihan dan pembentukan sikap moral dan karakter anak. Betapa sering kita mendengar kasus kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh remaja-remaja, bahkan anak-anak yang dilatar belakangi oleh ketidak puasan mereka terhadap apa yang mereka terima dari rumah, dan sekolah mereka.




Kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak pun sudah sering kita dengar di masyarakat. Tindak pidana yang berupa pencurian, penganiayaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak pun sudah bukan lagi menjadi hal yang “asing” di telinga kita. Sayangnya kebiasaan masyarakat yang langsung menyalahkan anak tidak akan langsung serta-merta dapat merubah sikap yang terlanjur melekat dalam diri anak. Perlu adanya suatu penambahan nilai – nilai moral yang lebih ditekankan kembali kepada anak.


Mungkin kita masih ingat dengan kasus yang menimpa AQJ mengakibatkan tewasnya 7 orang dianggap telah melakukan tindak pidana pembunuhan dan pelanggaran terhadap lalu lintas. Dari kasus AQJ ini sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat dipetik, yakni soal bagaimana orang tua  yang seharusnya lebih memberikan dukungan dan didikan moriil dan psikis terhadap anak agar tidak terlalu dimanja dan dibiasaan disiplin dalam kehidupan yang nantinya akan dirasakan sendiri manfaatnya baik bagi anak maupun bagi orang tua dan orang-orang disekitar mereka. 


Mengenai permasalahan anak yang sudah terlanjur bermasalah dengan hukum maka diperlukan prosedur yang berbeda dengan orang dewasa yang bermasalah dengan hukum. Hal ini dikarenakan anak masih memiliki pikiran yang tidak se'kompleks' orang dewasa yang bisa berpikir lebih jernih. Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, "Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana".  Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya. (Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004)


Oleh karena itulah diperlukan perlindungan yang lebih terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak telah mengadopsi sistem Restorative Justice. Menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, "Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan". Dalam sistem ini ketika si anak telah dinyatakan melakukan tindak pidana, maka anak tidak langsung dihadapkan dengan pengadilan yang malah membuat mental si anak tertekan, melainkan semua pihak yang terkait antara pelaku dan korban sama-sama menyelesaikan masalah dengan jalan keluar yang lebih bersifat kekeluargaan agar tidak menghambat kesempatan si anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental dan sosial.  Diharapkan dengan adanya sistem ini, maka perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum tidak akan lagi seperti kejadian sebelumnya seperti contoh dimana kasus Pencurian Sendal Jepit yang diduga dilakukan AAL (15 tahun) setelah memasuki proses hukum di Pengadilan Negeri Kelas I Palu di awal tahun 2012 mendapatkan ancaman hukuman 3-5 tahun penjara.


Oleh karena itu, sudah selayaknya sistem hukum yang menangani peradilan terhadap anak secara dengan konsep Restorative Justice ini secepatnya akan diberlakukan secara efektif, meskipun masih ada keterbatasan SDM dalam menerapkan sistem hukum yang lebih menekankan perlindungan bagi si anak ini. Hal ini dikarenakan mengingat anak bagaimanapun ia melakukan tindak pidana, namun ia masih berada dalam wilayah usia labil dan rentan untuk dipengaruhi. Peran orang tua dalam mendidik dan memberikan kasih sayang bagi si anak dan orang disekitanyalah yang dapat membuat mereka lebih berhati-hati dan menjadi mawas diri agar tidak terjerumus dalam melakukan tindak pidana yang membahayakan diri mereka dan orang lain disekitarnya.


Satu diantara upaya awal dalam mencegah anak-anak agar tidak bermasalah dengan hukum adalah dengan memberikan pemahaman hukum dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak perlu dengan bahasan yang tinggi dan sulit dimengerti, cukup ungkapkan pentingnya menjaga sikap tindak dan moral anak-anak dengan menyisipkan pemahaman mengenai hukum sedikit demi sedikit yang dapat dihubungkan dengan isi pelajaran. Tidak juga harus setiap saat secara intensif, cukup dengan menyisipkan sesekali sebagai "pemanis" proses pembelajaran. Memang sepintas terlihat sepele, namun dengan naluri anak yang mudah mengingat apa yang ditangkapnya, maka itu akan menjadi salah satu pembentuk pola pikirnya. Disinilah peran guru sebagai pendidik sangat diperlukan untuk menyisipkan pemahaman mengenai hukum tersebut dengan benar.


Dengan demikian diharapkan sekolah yang memiliki tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan isi dari Alinea ke empat UUD RI 1945 akan benar - benar mencetak generasi yang berpotensi sebagai penerus bangsa dan mengharumkan negara kelak kedepannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar